Friday, June 21, 2013

Simplicity of Life

(terinspirasi dari cara hidup beberapa orang teman baik dan merupakan sebuah perenungan yang belum usai, dan secara konsep diarahkan oleh pengajaran Pst. Rubin Ong)
 
Simplicity is the state or quality of being simple. It usually relates to the burden which a thing puts on someone trying to explain or understand it. Something which is easy to understand or explain is simple, in contrast to something complicated.(Wikipedia)
 
"Simplicity" umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "kesederhanaan" (matur nuwun mbah Gugel!)

 
Ketika mengamati seseorang (dan diri saya sendiri), saya menemukan satu tabiat mendasar dalam hukum berpikir manusia. Hal tersebut tampak dari common arguments yang sering saya temui, yaitu: semakin rumit sesuatu hal, semakin sempurna pula hal tersebut. Dalam bahasa praktis, semakin njelimet omongan seseorang, makin pandai orang tersebut. Atau, semakin banyak item yang harus diperiksa/dikerjakan, semakin tinggi pula tingkat pekerjaan/jabatan/pangkat/kedudukan/strata orang yang melakukannya. Saya tidak bermaksud menyatakan hal tersebut benar atau salah. Hanya saja, hal tersebut mempengaruhi cara menilai beberapa orang terhadap orang lain atau terhadap suatu keadaan tertentu.
 
Ilmu pengetahuan (yang saya pelajari) membawa kita kepada complexity atau kerumitan berpikir terhadap suatu hal. Dan tentu saja ini membawa kita ke bagian paling rendah dalam tingkatan filsafat. Suatu kejadian tertentu, secara ilmiah, akan dijabarkan dari berbagai dimensi dan teori sehingga menjadi sebuah wacana penuh dengan hukum sebab-akibat. Sekali lagi, ini bukan tentang baik atau buruk!
 
"Faster is always better." Inilah prinsip yang mendominasi pola pikir saya dulu, hingga suatu hari ada seorang teman yang bercerita tentang buku yang dia sedang baca waktu itu, sebuah buku dari Carl Honoré berjudul In Praise of Slow (Saya tidak akan membahas buku ini, karena memang saya tidak membaca seluruh isinya). Buku tersebut membawa diskusi kami (saya dan teman saya tersebut) kepada beberapa poin, salah satunya adalah bahwa kita sering kali melewati hal-hal yang rumit karena kita menghendaki sesuatu hal berjalan sempurna dan cepat. Kesederhanaan (waktu) adalah pilihan yang sangat beralasan untuk menjadi efektif.
 
Semua diawali dari PIKIRAN
 
Herbert A. Simon menuliskan dalam bukunya The Architecture of Complexity begini: "...something is simple or complex depending on the way we choose to describe it..." dan tentu saja cara kita men-describe diawali dari pemahaman, dan pemahaman itu diolah dalam pikiran kita.
 
Dalam Surat Paulus untuk Jemaat Filipi dikatakan:
"Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib." (Flp 2:5-8)
Frasa "pikiran dan perasaan Kristus" menunjuk pada sikap mental seperti yang dimiliki Yesus Kristus yang telah memberikan teladan dengan mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba (diambil dari kata "doulos", artinya budak). 
 
Di bagian lain juga tertulis demikian:
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (Mat 18:3-5)
Apa yang coba diwakili dengan "seperti anak kecil"? Apa yang dimiliki anak kecil? Semakin kecil usia seseorang, maka semakin sederhana pula cara dia menyikapi kehidupan di sekitarnya. Seorang bayi hanya memiliki satu bahasa utama untuk menyatakan banyak hal: tangisan!

Lantas apa yang membuat hal ini begitu mendorong saya untuk lebih merenungkan kata "kesederhanaan" atau "simplicity"?

Seringkali kita (atau mungkin cuma saya) melupakan prinsip simplicity ini dalam berTuhan. Entah karena pola pikir kita atau keingintahuan kita mengenai Tuhan, entah juga karena belenggu daging berwujud aturan dan hukum-hukum beragama yang mengikat erat setiap sendi rohani kita. Sadly, I was there!

Saya teringat sewaktu Allah berjalan-jalan di Taman Eden bersama manusia dalam kesederhanaannya. Begitu sederhana hingga kata "telanjang" itu tidak ada dalam pikiran mereka. Kawula-Gusti sedang berada dalam titik simplicity of relationship. Hingga suatu ketika terjadilah kerumitan pertama yang lahir dari dosa.

Di kemudian hari, hubungan Allah dan manusia menjadi semakin rumit. Yang saya maksud di sini tentu saja rumit dalam pemikiran saya sebagai manusia. Diawali dari ethical complexity dimana manusia menyadari bahwa mereka telanjang. Pengetahuan mengenai ketelanjangan mereka itulah yang membuat mereka berpikir untuk membuat pakaian supaya pantas bertemu dengan Allah. Sekarang kita dengan mudah menemui orang-orang yang "memaksa" dirinya tampil dengan begitu rapi dengan atribut tertentu dan bersikap tertentu supaya dirinya dianggap pantas untuk berada dalam kumpulan rohani itu.
 
Kerumitan berikutnya adalah apa yang disebut logical complexity. Paska kejadian dimakannya buah pengetahuan yang baik dan yang jahat, setelah pemutarbalikan logika oleh Iblis kepada Manusia, mulai tampak bahwa pemikiran manusia mulai dipengaruhi oleh banyak pertimbangan. Pertimbangan muncul karena adanya pembanding (entah bernilai benar atau salah). Tak berapa lama kemudian, proses pembandingan ini menjadi salah satu faktor terjadinya "pembunuhan pertama". Bahkan kisah "teokrasi mutlak yang berubah menjadi monarki" pun didasari oleh kerumitan ini.
 
And so on, and so on.....
 
Kesederhanaan
 
Mulai bagian ini saya akan sedikit menekankan tulisan saya pada kesederhanaan.
 
Kesederhanaan adalah salah satu ciri Yesus (My Trendsetter) yang mudah ditiru dan diduplikasi. Dalam beberapa bagian khotbah di atas bukit, Yesus sengaja mengambil tema kesederhanaan. Bukannya tanpa maksud, tetapi memang semenjak jaman Taurat bangsa Israel sudah terpatrun pikirannya dengan aturan-aturan dalam berTuhan sehingga mereka bingung dan cenderung memberontak ketika para Nabi dan Yesus sendiri memperkenalkan Kerajaan Allah.
 
Sederhana (noun) bukan berarti tidak memiliki apa-apa, tetapi tidak merasa memiliki dan menguasai segala yang ada. Kesederhanaan yang dimiliki dalam hati akan memunculkan hati hamba dan membuat kita hidup berkenan kepada Tuhan. Kesederhanaan timbul dari hati yang tulus, dan selalu melahirkan kerelaan dalam melepaskan hak. Hal tersebutlah yang akan membawa kita selalu siap "dekat" dengan Allah.
 
Kerumitan alias complexity dalam pikiran, setahu saya, selalu muncul sebagai akibat dari ketidakjujuran. Semakin besar dan semakin banyak hal yang dihindari (ditutupi) semakin banyak alternatif yang muncul, dan itu artinya semakin rumit pula pikiran ini. Karakter yang rumit tidak dapat dicontoh
 
Musuh terbesar dalam kehidupan adalah menaklukkan keinginan diri sendiri. Dalam Amsal 16:32, "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota." Dengan hati yang sederhana kita akan mudah sekali melakukannya.
 
Kesederhanaan Iman
 
Saya teringat dengan seorang kakak yang sangat mencintai Tuhannya. Ia berdoa demikian, "Tuhan, berikanlah aku hati yang sederhana supaya aku dapat mencintaiMu dengan tulus." Juga sebuah puisi roman yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono seperti berikut:
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"
Ketika berbicara tentang cinta, kesederhanaan adalah sesuatu hal yang sangat praktis. Demikian pula dengan iman. Pst. Gilbert Lumoindong pernah berkata dalam khotbahnya, "Faith (iman) selalu berlawanan dengan tiga hal: logic (logika), feeling (perasaan), dan fact (fakta)." Logika, perasaan, dan fakta selalu membawa kita kepada kerumitan. Iman membawa kita kepada kesederhanaan. Saya tidak bermaksud mengatakan kalau kita tidak perlu logika, perasaan dan fakta. Semua itu baik pada tempatnya. Kontradiksi akan terjadi dan akan mematikan iman apabila logika berkata: Tuhan tidak masuk akal, perasaan berkata: saya tidak layak, dan fakta berkata: saya gagal/bangkrut/tidak mampu.
 
Dalam Kitab Zabur 116:6 dituliskan, "TUHAN memelihara orang-orang sederhana; aku sudah lemah, tetapi diselamatkan-Nya aku."
 
Tulisan ini memang belum merujuk pada satu arah atau kesimpulan tertentu sebagaimana perenungan saya belum sampai "pemahaman tertinggi". Namun saya tetap menggarisbawahi bahwa kesederhanaan merupakan sikap hati, pikiran dan tindakan yang mencerminkan apa yang ada didalam kita. Kesederhanaan ini pula yang akan membawa kita dengan mudah untuk mencintai; mencintai Tuhan maupun mencintai apa yang dicintai Tuhan.
 
Just make it simple!
 
 
 
 
 
 

3 comments:

  1. semakin dalam pemahaman seseorang tentang suatu hal, semakin mampu dia menyajikannya dengan sederhana. kerumitan juga bisa jadi salah satu indikasi bahwa pemahaman yg dimiliki belum cukup dalam.

    ReplyDelete
  2. “If you can't explain it to a six year old, you don't understand it yourself.”
    ― Albert Einstein

    ReplyDelete
  3. cinta itu sederhana bagi orang-orang yang sangat MencintaiNya, tapi cinta itu akan menjadi sangat rumit saat kita tidak sepenuh hati mencintaiNya, ilmu Fisika itu sangat sederhana bagi orang yang cinta Fisika tapi bagi orang yang tidak suka fisika lihat bukunya pun malas karena fisika itu sangat rumit, so....you know lah...

    ReplyDelete