Monday, April 22, 2013

Sekolah Jalanan Series: Curhat Seorang Pengguna Jalan (Kehidupan)

Tiga puluh (30) kilometer adalah jarak minimal yang saya tempuh tiap hari selama seminggu untuk melakukan aktivitas pekerjaan saya. Walaupun tidak begitu jauh (uhukkk....), namun perjalanan tersebut saya isi (dengan sedikit terpaksa) dengan pengamatan-pengamatan ringan dan eksperimen-eksperimen kecil yang menghasilkan beberapa pemikiran yang akan saya coba jatimkan (kalo di Bandung jadi "jabarkan" :p) secara empiris dalam seri tulisan ini.

Perjalanan adalah sebuah hal yang pasti dialami oleh seseorang yang menghendaki dirinya berada di suatu tempat tertentu, suatu masa tertentu, alam tertentu, bahkan kondisi tertentu, yang tentu saja tidak sama dengan tempat, masa, alam atau kondisi di mana ia berada sebelumnya. Sebuah perjalanan pasti memiliki tujuan. Tujuan yang saya maksud di sini baik secara nyata maupun secara khayalan dan dalam tulisan saya sebelumnya diwakili dengan "...tertentu"
 
Dalam satu waktu, seseorang bisa melakukan banyak sekali perjalanan. Misalnya yang saya alami beberapa jam yang lalu. Secara fisik saya sedang mengalami perjalanan menuju tempat kerja dengan kendaraan roda dua saya, secara pikiran saya sedang mengalami perjalanan untuk menyelesaikan pekerjaan saya, secara waktu saya sedang mengalami perjalanan dari saya yang berada di jam 7.00 WIB menuju saya yang berada di jam 7.45 WIB, dan sebagainya. Bahkan patung pun mengalami perjalanan semacam ini.
 
Kalau setiap perjalanan seseorang diumpamakan seperti seutas rambut (masing-masing), maka mungkin satu orang memiliki perjalanan seperti adanya rambut mereka (tidak berlaku bagi orang botak!) Ada yang panjang, ada yang pendek, ada yang lurus, ada yang keriting, ada yang sehat ada yang bercabang, ada yang bersinar, ada pula yang kusut kusam.
 
Kalau masing-masing orang memiliki perjalanannya masing-masing dan sebanyak itu, lalu mereka mereka berjalan di tempat atau jalur atau tujuan atau titik yang sama, disinilah awal permasalahan yang akan saya coba untuk tuliskan.
 
Realita pertama mengenai tersebut: Setiap pagi saya bersama berpuluh ribu pengguna R2 (kendaraan roda dua) lainnya berada di satu ruas jalan yang sama. Bahkan di suatu pagi, sejak dari ujung jalur Lingkar Timur Sidoarjo hingga pertigaan Jalan Muncul Industri, kurang lebih 3 kilometer, semua kendaraan baik roda 2, roda 3, roda 4, dan seterusnya berhenti total. Nah lo...coba saja hitung berapa orang yang terjebak di atas kendaraannya masing-masing. Mereka memiliki tujuan yang pasti tidak sama persis. Ada yang menuju ke Surabaya, ada yang ke Jenggala, ada yang ke Sukodono, dan semacamnya. Yang pasti, mereka memiliki ide yang sama untuk melalui jalur di mana saya berada saat itu.
 
Saya perhatikan sekilas satu persatu: Ada seorang paruh baya penuh keringat dan dibalut asap rokok sedang mengendarai angkot kuning yang roda sebelah kirinya ada di atas trotoar dan roda sebelah kanannya ada di bahu jalan, ada seorang perempuan usia belasan dengan kendaraannya yang berhenti setengah melintang di depan saya tanpa ada lampu yang menyala di kendaraannya, ada kakek tua dan cucunya yang mengenakan seragam SD di atas Revo keluaran terbaru, ada sebuah mobil Avansa putih yang berada tepat di tengah jalur atau di antara dua lajur yang tiap 10 detik sekali membunyikan klakson. Itu hanya mereka yang ada di kanan-kiri-depan-belakang saya saja. Entah apa yang ada di dua kilometer ke depan.
 
Setidaknya gambaran sekilas itu mewakili betapa banyaknya cerita dan hal yang harus kita sikapi dengan benar dalam kehidupan ini. Sisi yang mungkin tidak akan diperhatikan oleh banyak orang. Mungkin tidak ada konflik atau permasalahan yang sepertinya menarik, karena kita mungkin terlalu terbiasa dengan hal itu. Namanya juga jalanan.
 
Kata "jalanan" sudah dikonotasikan dengan hal-hal yang negatif, ketiadaan aturan, kebebasan bertingkah laku, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Seakan jalanan adalah tempat sampah (walaupun itu berarti sebenarnya di beberapa kondisi dan tempat tertentu). Namun bohong rasanya bila kita mengatakan bahwa kita tidak pernah ada di jalanan. Lebih dari seperdelapan waktu saya habis di jalanan setiap hari. Selama itulah waktu pengamatan saya dalam menulis ini. Dan ternyata pengamatan itu pun melahirkan sebuah hipotesis seperti berikut ini:
"Sebagaimana adanya jalanan, demikianlah suatu bangsa. Sebagaimana adanya sikap di jalan, demikianlah moral bangsa itu"
Bagaimana itu bisa terjadi? Tanyakan pada rumput yang bergoyang. Yang jelas, ada beberapa perenungan yang saya dapatkan ketika saya ada di jalan. Dan saya akan mengulasnya dalam tulisan saya berikutnya di seri yang sama. Sekali lagi, ini bukanlah sebuah tulisan ilmiah, tapi lebih merupakan sebuah perenungan ringan yang perlu kita pelajari demi perjalanan (kehidupan) yang lebih efektif.
 
Salam.




 
 
 
 
 

1 comment: