Tuesday, March 19, 2013

Hujan Lokal

Masalah adalah hal yang sangat manusiawi ditemui di dalam semesta berpikir manusia. Seringkali hal tersebut menjadi monster yang selalu kita hindari, dan ketika kita berada di dalamnya, seolah-olah dunia ini berakhir. Reaksi umum yang dialami kebanyakan dari kita adalah "galau". Dan dampak umum dari kegalauan adalah kehidupan yang kontraproduktif. Itulah kondisi yang  menurut saya tidak bermutu!
Suatu malam, saya dalam perjalanan pulang dari sebuah pertemuan pria di daerah Ambengan, Surabaya. Saya berencana melanjutkan perjalanan menuju rumah. Melihat langit yang sudah memutih gelap saya segera memacu sepeda motor saya. Jalur tengah menjadi pilihan jalur saya.
Beberapa minggu ini jalur Surabaya-Sidoarjo memang kurang bersahabat dengan para biker. Hujan lebat, angin, dan banjir terjadi hampir setiap sore hingga malam hari. Tapi hari ini sepertinya perkecualian.
Dalam perjalanan saya membayangkan setiap detail rencana yang akan saya lakukan sesampai di rumah. Kopi panas, makan malam, tempat tidur, dan iringan ludruk Kartolo (lagi pingin nostalgia nih...). Saat itu saya merasa bahwa hari ini adalah hari baik saya di mana Tuhan memberikan kelancaran.
Cerita itu berubah drastis ketika saya lewat tepat di depan SE, jalan Simpang Dukuh. Tiba-tiba, kurang dari satu menit, kondisi yang tadinya kering, berubah menjadi hujan yang sangat lebat. Jarak pandang kurang dari 50 meter saja. Saya mengurangi kecepatan, mencoba meraba jok saya dan saya tercengang. Saya tidak bawa jas hujan!!
Saya langsung teringat beberapa buku dalam tas kecil saya. Jam sepuluh malam. Tidak ada bangunan besar untuk berteduh.
Sempat terpikir untuk memutar arah kendaraan saya. Tapi niat itu saya urungkan. Jalan Simpang Dukuh adalah jalur searah. Dan yang paling membuat saya mengurungkan niat adalah ada beberapa petugas berseragam ada di sebelah saya! Jadi, pilihan saya tinggal meneruskan perjalanan dengan resiko basah kuyup dan hancurnya buku berharga saya, atau mencari tempat berteduh (dan yang saya tahu sepanjang jalan sampai jalan Jenderal Sudirman pasti tidak akan saya temukan). Bagus!
Pelan-pelan berjalan, dan spontan saya meminggirkan kendaraan, dan segera berlari menuju deretan warung PKL di sepanjang jalan itu. Warung pertama: penuh. Warung kedua: penuh. Warung ketiga: warung kopi. Cocok!
Sambil menikmati kopi panas saya menyesali perjalanan saya kali ini. Malam ini akan berakhir di warung kopi, pikir saya. Menurut pengalaman saya dan asumsi umum, hujan dengan kondisi langit seperti ini setidaknya akan berhenti dalam hitungan jam. Apa yang saya bayangkan berubah. Yang ada hanya kelelahan, kedinginan, dan tidur lebih awal. Tanpa kenikmatan.
Setengah jam berlalu, hujan masih saja mengguyur deras. Kecemasan mulai melanda. Galau. Pikiran-pikiran buruk dan kekuatiran.
Keinginan saya untuk segera sampai di rumah menguat. Kopi sudah habis. Tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu. Membosankan. Masih ada dua puluh kilometer yang harus saya tempuh.
Akhirnya saya memutuskan untuk nekat saja. Biar basah asal sampai rumah.
Setelah meminta tas plastik pada penjual rokok di sebelah warung (minta saja soalnya beli pun tak ada) untuk membungkus tas kecil berisi buku, saya segera beranjak dari warung kopi dan mengambil motor saya. Hujan masih mengguyur tanpa berkurang intensitasnya. Dan benar, saya pun basah.
Perjalanan berlanjut. Lebatnya hujan tidak lagi saya gubris. Saya pikir inilah yang terbaik yang bisa saya lakukan.
Perjuangan yang berat untuk tiba di rumah, melawan dingin dan basah. Konsentrasi harus ditingkatkan pada level spaneng  karena jarak pandang terbatas ditambah kaca helm yang sudah buram. Kaos kaki sudah mulai basah, artinya besok saya tidak bisa pakai sepatu ini untuk kerja. Hujan ini adalah masalah besar. Banyak hal yang tidak saya inginkan terjadi.
Keputusan sudah diambil. Dan ternyata, perjuangan berat itu hanya saya jalani selama 150 meter saja! Hal mengejutkan terjadi. Sesampainya saya di tikungan SMU Trimurti jalan Pemuda: hujan berkurang. Sampai Bambu Runcing: hujan rintik. Sampai A.Yani: basah saja. Sampai Sidoarjo: Kering!!
Di kilometer-kilometer terakhir saya merenungkan kejadian tersebut. Sandainya saya masih berkutat di warung kopi menikmati kopi dan tahu goreng sambil menunggu, mungkin saya tidak akan pulang sebelum tengah malam.
Bayangan saya mengenai hujan lebat yang akan terjadi di sepanjang dua puluh kilometer menuju rumah dan segala akibatnya adalah masalah saya sebenarnya. Saya tidak mengira bahwa yang saya alami hanyalah hujan lokal, yang akan berlangsung cukup lama di tempat saya berhenti tersebut. Namun itu hanya terjadi di sekitar tempat saya berhenti. Bukan di sepanjang perjalanan saya.
Terkadang kita juga mengalami hujan lokal tersebut dalam hidup kita. Ada masalah-masalah yang membuat kita takut untuk melangkah, karena kita merasa bahwa masalah itu adalah akhir cerita hidup kita, atau kita merasa masalah itulah yang akan meliputi sepanjang hidup kita.
Dalam perenungan saya, tindakan adalah jalan keluarnya. Tentu saja tindakan yang didasarkan pada keinginan kita untuk keluar dari tempat kita berada, keluar dari hujan lokal, keluar dari masalah kita. Bukan suatu tindakan ceroboh yang dilakukan hanya karena kita kalut. Tindakan yang saya maksud adalah tindakan iman, yang dilakukan dengan benar. Setahu saya, tidak pernah ada permasalahan yang diselesaikan tanpa bertindak. Bahkan dengan iman sebiji sesawi pun, masih diperlukan satu tindakan iman supaya gunung itu berpindah: "berkatalah".
Akhir cerita, saya melewati jalanan kering Sidoarjo walaupun dengan sedikit basah ditambah dengan sebuah pelajaran berharga.
Apakah anda sedang mengalami hujan lokal??






No comments:

Post a Comment