Sunday, February 3, 2013

BERSEKOLAH pada KERUWETAN

(sebuah sobekan dari buku NGELMU SUSAH tulisan Bondan Wahjoedi)

     Simpul-simpul di negeri tercinta ini sudah sangat kompleks seolah membuntu tak teruraikan lagi. Tanpa mengurangi rasa kebangsaan yang masih ada, sejujurnya kita semua telah dan sedang bersekolah pada keruwetan. Masih adakah celah pada tembok kebuntuan ini bagi mereka yang berkehendak baik?



Berpikir Baru: Jernih

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam situasi yang teramat sulit dan menekan ini kebanyakan orang merasa hidup dalam rimba keruwetan yang amat gelap. Hukum yang berlaku sudah menjadi hukum rimba. Siapa yang tidak akan marah ketika melihat penderitaan orang-orang miskin yang tergusur, terampas hak hidupnya,  semantara mendengar bahwa gaji para pejabat ratusan kali lipat dari penghasilan rakyatnya dan masih saja minta uang makan dari orang yang harus dilayaninya? Ketidakadilan, kemunafikan, korupsi dan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan seolah sudah membudaya, yang dalam kacamata iman sudah menjadi dosa masal atau kolektif suatu bangsa.Dalam iman kita percaya bahwa Tuhan tidak pernah menghukum, tetapi akibat dosa itu sendiri adalah ketakutan akan kebenaran, sehingga dasar manusia lemah, justru menjadi saling curiga, saling menyalahkan orang lain, situasi, lingkungan atau kambing hitam lain. Karena cupetnya pemahaman akan kebenaran maka banyak orang yang berusaha menegakkan kebenarannya sendiri, hasilnya akan tetap cupet bila diukur dengan benar. Pemahaman yang cupet sering kali membuat orang salah persepsi: domba putih dikiranya kambing hitam. Maka keruwetan pun semakin merimba.


Ibarat benang kusut, keruwetan hanya bisa diuraikan atau diselesaikan dengan tenang, tidak panik, bukan dengan umpatan apalagi upaya paksa alias kekerasan. Kita pantas kagum kepada mereka yang tetap sederhana, tetap bertahan hidup dalam kesesakan tanpa tenggelam dalam kepanikan dan kegelapan yang sudah membudaya. Kita perlu bersyukur bila di saat kegelapan ini melanda, masih banyak orang yang dengan tulus berusaha membawa terang mencarikan jalan keluar dari keruwetan nasional ini. Sering kita menjadi agak tenang saat mendengar ajakan untuk rujuk nasional, doa masal mohon ampunan, namun lingkaran keruwetan itu semakin meluas juga Memang ajakan semacam itu perlu terus dikumandangkan, namun apalah artinya bila tidak dibarengi dengan kesediaan untuk saling mengampuni satu sama lain?

Di jaman sekarang ini kiranya sulit untuk tetap berpikir jernih, sedangkan itulah satu-satunya jalan untuk mengurangi keruwetan. Sikap tenang, berpikir jernih, akan membuat hati jadi bersih, sabar, arif, dan bijaksana. Sebenarnyalah buah-buah dari kejernihan pikiran jauh melebihi jutaan doa yang terlambung tanpa dibarengi upaya tindakan kasih. Meskipun kita awam dalam hal-hal kerohanian, namun kita percaya bahwa Tuhan selalu memberikan jalan keselamatan. Yang kita perlukan hanya kesediaan untuk datang, bertobat, meninggalkan pola pikir lama dan mulai hidup sebagai manusia baru yang jernih penuh kasih.

Mulai dari Diri Sendiri


Ungkapan dan seruan di atas seperti halnya keutamaan hidup yang lain, mudah didengarkan, mudah pula diucapkan tetapi sulit untuk dilaksanakan. Keruwetan yang sudah merimba, kegelapan yang sudah membudaya memang perlu pertobatan dan pengampunan, namun secara manusiawi tidaklah mungkin seluruh komponen bangsa ini serentak menjadi orang bijak semua. Tuhan tidak menghendaki kita semua datang karena tanda-tanda mukjizat massal atau ketakutan tanpa juntrung.


Seperti halnya keruwetan itu terjadi, demikian pula selesainya tentu melalui suatu proses yang teramat lama. Kita percaya kepada mereka yang berkehendak baik yang mengusahakan kesadaran kolektif dalam setiap komunitas apapun. Sebagai keluarga kita semua dipanggil untuk terlibat mengurai keruwetan nasional itu dengan memulainya dari diri kita sendiri. Betapapun berat beban yang ada harus kita pikul dan betapapun ruwetnya riba kegelapan, semua harus tetap menjadi tanggung jawab kita. Mencari dalih dari mana dan dari siapa beban ini bermula justru akan membuat pikiran kita menjadi keruh.

Alangkah baiknya bila kita mampu merubah pola pikir yang melihat keruwetan itu sebagai beban, menjadi sebagai tantangan bersama untuk mengurai keruwetan masing-masing antar komunitas. Ibarat sekolah, kita memasuki sekolah yang sama yaitu sekolah keruwetan. Bagaimanapun juga, mau tidak mau kita semua telah dan sedang dalam keruwetan nasional. Dengan bekal sedikit iman, pikiran yang jernih, kita akan dituntun Sang Guru Sejati lewat pengalaman hidup kita masing-masing. Bila kita mampu membaca pelajaran dari setiap bab yang ada dalam pengalaman kita, tentu kita akan sadar bahwa keruwetan bisa menjadi bahan ujian untuk menaiki jenjang tangga kehidupan yang lebih tinggi. Memang harus dimaklumi seperti dalam hal bersekolah, ada anak pinter ada yang lancar selalu lulus ada pula yang tidak karena keterbatasan masing-masing. Merasa diri terbatas, sulit untuk menerima pelajaran sering membuat yang bersangkutan sedih adalah wajar, namun Sang Guru Sejati justru akan menolong secara khusus. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari yang namanya kedamaian, kebahagiaan dibagikan secara cuma-cuma kepada siapapun pada tingkat kehidupan apapun tanpa pilih kasih.

Yang penting bagi kita adalah dengan setia mencari, mendengarkan pesan pelajaran yang disampaikan kepada kita dan yang harus kita kerjakan, agar kita semakin pandai mengurai keruwetan hidup kita. Tuhan tidak menghendaki kita jeblok terus dalam hidup, namun masalahnya akan menjadi lain bila kita malas mengerjakan PR, membolos lari dari tanggung jawab atau sering nakal memngganggu teman lain.

Dalam pikiran yang jernih, hal semacam itu tetap bisa dimengerti karena dalam diri setiap orang akan selalu ada kecenderungan untuk menghindar dari kesulitan, penderitaan, dan menimpakan kesalahan pada diri orang lain sebagai penyebabnya. Bisa dimaklumi bila ada saja orang yang sulit mengurai keruwetan yang sebenarnya bisa dilakukan dengan terbuka menerima uluran tangan orang lain yang berkehendak baik. Perasaan putus asa bisa saja menghinggapi diri kita, namun pengalaman menunjukkan bahwa bila kita tetap tekun mengatasinya mulai dari hal yang paling sederhana, maka waktu akan mengembalikan rasa percaya diri kita.

Keberhasilan mengurai simpul keruwetan yang kecil akan meningkatkan keyakinan kita untuk mengurai simpul yang lebih besar dan seterusnya.

Dengan mengawali dari diri sendiri, keluarga atau saudara dekat, lambat laun keyakinan itu akan terpancar dengan sendirinya ke lingkup yang lebih luas. Bukankah kita harus saling meneguhkan dalam setiap keruwetan?

Setiap orang beriman akan sadar dan merasakan mengapa Tuhan tidak mengambil kita dari dunia yang penuh keruwetan ini, yaitu agar kita menjadi saksi keselamatan kasihNya.

Perlindungan kasihNya akan selalu kita temukan di balik tembok sekolah keruwetan dunia ini. Selamat belajar!





No comments:

Post a Comment