“...jangan mutlakkan bahasanya, mutlakkan maknanya!”
– KPSA –
Beberapa waktu ini saya dibuat geram sekaligus sedih akibat ulah beberapa orang iseng (dari sekian banyak yang tidak saya kenal) yang memporak-porandakan pikiran saya mengenai cara berpikir yang benar. Tatanan berpikir saya dipaksa untuk menerima banyak sekali (pernyataan) kebenaran yang disajikan dalam satu wadah. Dan setiap (pernyataan) kebenaran tersebut memiliki label bertuliskan “syarat dan ketentuan berlaku”.
Berabad-abad yang lalu, seorang murid menulis perkataan Yesus demikian: “Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya.” Mengapa penyesatan ini ada? Apakah hubungannya dengan kebenaran?
Saat kebingungan memuncak, saya tergerak untuk membuka kembali catatan-catatan kecil semasa berguru di Malang. Catatan-catatan saya tersebut berjudul Filsafat Logika. Tulisan saya setelah ini adalah hasil baca-pikir-baca-pikir-tulis saya.
Menurut Aristoteles, kebenaran itu bersifat subjektif sehingga penyimpangan-penyimpangan terhadap kebenaran tersebut juga dianggap subjektif. Setiap manusia diciptakan satu paket dengan akal. Akal memicu otak untuk mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Demikian kita bisa membedakan satu hal dengan lainnya (dalam hal ini: kebenaran).
Dalam proses menemukan kebenaran tersebut, sering kali (selalu) kita temukan kesesatan dalam berpikir. Inilah yang membuat kebenaran selalu ditempelkan pada subjektivitas.
Well, apa itu kesesatan berpikir (kesesatan pikiran)?
Kesesatan berpikir adalah suatu kesalahan penalaran atau suatu pemikiran yang tidak logis sehingga terjadi kekacauan penalaran. Logis berarti suatu kegiatan berpikir dengan menggunakan suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu.
Penyebab terjadinya kesesatan pikiran adalah ketidakkonsistenan dalam menggunakan alur logika. Logika selalu memberikan suatu ukuran atau norma berupa anggapan tentang benar dan salah terhadap sebuah kebenaran. Untuk menghindari kesesatan pikiran perlu adanya suatu proses pemikiran. Proses tersebut dapat berupa susunan secara sistematis berdasarkan logika yang mengacu pada norma yang ada.
Back to the issue....
Menurut saya, beberapa “kebenaran” yang saya terima dalam wadah seperti yang saya sebutkan pada awal tulisan ini, beberapa di antaranya, adalah hasil dari penyesatan. Selebihnya berada dalam klausul “syarat dan ketentuan berlaku”.
Ingat ketika di dunia ini hanya ada satu paket larangan? Yup.... “Jangan makan buah dari pohon pengetahuan!”. Lalu terjadi kesesatan pikiran akibat munculnya pernyataan “Sekali-kali kamu tidak akan mati!”. Matilah akal karena daging. Matilah penalaran karena nafsu. Proses pemikiran tidak terjadi. Dosa.
Dan inilah beberapa indikasi dari kesesatan pikiran itu:
- Kalau bukan agama Kristen tidak akan selamat.
- Apa itu tepuk tangan? Emang Tuhan itu burung merpati aduan?
- Itu penyembahan atau konser?
- Tanpa bahasa roh, tidak intim dengan Tuhan!
- Hanya oleh minyak urapan dan perjamuan.
- Allah.....tidak selamat!
- Sesat!
Untuk memusnahkan mental dan pola pikir budak dalam diri bangsa Israel, Allah memproses bangsa ini selama puluhan tahun di padang gurun. Kristus datang untuk mengubah keadaan bukan hanya secara fisik, tetapi secara jiwa dan roh. Daripada hanya sekedar memindahkan orang dari neraka menuju sorga, saya berpikir untuk memaknai Injil (keselamatan) dengan cara lain. Injil (keselamatan) adalah kasih karunia yang membuat seseorang memahami kehendak Allah (apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna) melalui sebuah pembaharuan budi. Itulah esensi kebenaran menurut saya.
Ini bukanlah tulisan ilmiah, melainkan hasil luapan pikiran yang porak-poranda. Bukan pula kesesatan berpikir, melainkan bagian dari proses pemikiran. Untuk itu saya mengawalinya dengan kutipan sebagaimana di awal tulisan ini.
Semoga anda tidak sesat!
No comments:
Post a Comment